Minggu, 01 Januari 2017

1 Januari (The last)

Badanku rasanya gerah sekali, sampai aku terbangun. Kulihat jam di handphone, ternyata masih pukul 3 pagi. Kubalikkan badanku, ada dia yang sedang tertidur pulas. Aku menatap wajahnya, kurasakan hembusan nafasnya di wajahku. Dia tidak mendengkur, sepertinya dia berusaha menahan agar tidak mengganggu tidurku. Gggrrooookkk. Oke, aku terlalu cepat berkesimpulan, barusan dia ngorok.

Aku membelai pipinya dengan telunjuk tangan kiriku, memainkan hidungnya, lalu membelai bibirnya. Banyak hal yang berkecamuk di otakku. Pikiran bahwa perlahan dia akan bosan​ dan meninggalkanku. Pikiran dia akan kembali cuek seperti sebelumnya. Pikiran bahwa dia akan menemukan orang lain.

Aku takut, sudah banyak bukti ketika pasangan jarang bersama dan ada lawan jenis yang lebih sering bersama salah satunya, nantinya kenyamanan serta kehadiran mereka akan dianggap sebagai perhatian yang tidak bisa didapat dari pasangan asli mereka. Jalaran soko kulino. Bisa karena biasa. Sungguh aku takut.

Sepertinya tanpa sadar aku kembali tertidur, dan terbangun ketika cahaya matahari menyelusup diantara sela gorden yang langsung mengenai tepat mataku. "Pagi.. aku gak ngorok kan?", Rupanya dia kembali memperhatikan aku tidur. Tapi dia pun tidak tahu kalau aku pun melakukan hal yang sama semalam.

"Cari sarapan yuk, nanti kesiangan. Habis dzuhur kan kita harus ke bandara", ujarku. Dia tidak menjawab, malah memelukku erat, bahkan sampai aku tidak bisa bergerak. "Kamu tinggal disini aja, aku nanti sendirian lagi, kesepian. Kalau ada kamu, aku kayak punya semangat hidup. Aku langsung punya tujuan mau ngapain setiap harinya", dia bicara sambil tetap memelukku. Terserah dia mau bicara apa, tapi aku sudah berjanji tidak akan ada tangisan hari ini. Aku tidak mau menganggap ini semua sebuah perpisahan, aku harus yakin kita berdua akan berjumpa lagi entah kapan.

Aku merasakan keningku diciumnya, kucoba dengakkan kepalaku, ada sisa air mati yang mengalir dipipinya. Dia menangis. Aku mengusapnya, "jangan nangis, nanti aku ikut sedih.. aku kan cuma balik buat kerja, cari uang lagi biar bisa nengokin kamu. Kamu juga cari kerja, biar punya uang buat nengokin aku". Entah kekuatan darimana yang membuatku bisa bicara tanpa suara serak. "Kamu enggak usah kerja, aku aja yang kerja. Aku janji bakal usaha terus buat bahagiain kamu, nyenengin kamu", dia kembali bicara.

"Kawan-kawanmu tidak pulang?", aku mencoba mencari pembicaraan lain. "Paling tidur di rumah sebelah", katanya. Rumah sebelah yang dia maksud adalah rumah tempat dia menitipkan bahan makanan di kulkas tetangganya. "Mereka udah gede, biarin aja. Aku mau manja-manjaan sama kamu aja seharian", ucapnya. "Tapi aku lapar", aku bilang padanya. Sesungguhnya aku takut kalau ada orang lain yang belum kukenal datang dan melihat kami hanya berdua di rumah ini. Sekalipun kami tidak melakukan hal-hal yang aneh, aku merasa fitnah apapun bisa saja merusak karirnya disini yang notabene adalah anak rantau.

"Ya sudah kalau kamu sudah bosan di kamar sama aku", begitu katanya lalu bangun dan keluar kamar. Sikapku telah melukai hatinya lagi. Kadang aku bingung bagaimana mengungkapkan perasaanku. Iri sekali aku pada orang-orang yang dengan mudah mengungkapkan apa yang diinginkannya tanpa kuatir omongan orang pada akhirnya.

Aku pergi ke dapur untuk melihat ada bahan makanan apa yang tersisa untuk sarapan. Tidak ada lauk. Cuma ada nasi, dan cabe rawit. Kuputuskan untuk membuat nasi goreng saja. Dia tampaknya pergi ke rumah sebelah untuk mengecek keberadaan kawan serumahnya.

"Iya mereka ada di sebelah", sahutnya dari pintu depan. Dia mengeluarkan motor, lalu memanaskannya. Pukul 9 pagi, suasana komplek perumahan masih sepi tidak seperti biasa. Tampaknya semua lelah setelah merayakan pergantian tahun. Tidak ada penjual makanan ataupun kue yang jualan hari ini.

Nasi goreng pedas sudah matang, aku pun memanggil dia yang sedang mencuci motornya. Dia bilang mau mandi dulu baru sarapan, sekalian dia mau ke rumah bosnya untuk kembali meminjam mobil. Sebelum mandi dia kembali ke rumah sebelah untuk membangunkan kawan-kawannya. Dan mereka pun kembali bersama ke rumah, sambil membawa beberapa potong ayam sisa semalam mereka berpesta.

Kami makan bersama di ruang tengah. Aku menyelesaikan makanku lebih dulu, dan pamit untuk mandi dan bersiap pulang. "Ngobrol dulu saja lah kak, masih lama ini. Pesawat jam3 toh, jalan dari sini jam2 pun masih keburu sampai sana", kata salah satu kawannya. Aku melirik dia, dan dia cuma tersenyum sambil meneruskan makannya.

"Jadi kakak sudah berapa lama berhubungan?", Tanya kawannya. "Cukup lama.. sekitar 4 tahun sepertinya", kataku. "Wahh lama juga yah, jangan lama-lama kak, minta saja lamar segera. Daripada nanti kakak direbut orang", kata kawannya lagi. Aku tersenyum, dan kulihat dia yang digoda hanya diam seperti pura-pura tidak mendengar.

Dia sedang ke belakang untuk mencuci piring serta peralatan masak yang kotor. Tiba-tiba salah satu kawannya kembali bicara, "aku suka dengan kalian berdua, terlihat cocok dan mengisi satu sama lain. Bukannya aku tidak tahu persoalan diantara kalian, tapi aku doakan semoga ada jalan terbaik untuk kalian berdua". "Terimakasih", sahutku. Dan kali ini air mataku tidak bisa kutahan lagi, aku masuk ke kamar dan menangis.

Dia mengetuk pintu kamar, kubilang untuk masuk saja karena tidak dikunci. Dia bertanya sedang apa, aku berkata sedang membereskan barang bawaanku dan bersiap untuk mandi. Untungnya air mataku sudah mengering, dan kali ini justru dia yang memgingatkan tentang kepulanganku. "Sudah jam1, sana siap-siap. Aku juga mau ambil mobil dulu", begitu katanya.

Selesai berpakaian aku mendengar bunyi mesin mobil di depan rumah. Dia baru sampai. Aku segera membuka pintu kamar, dia menyeruak masuk dan ingin ganti dengan seragam kantor. "Aku absen dulu ke kantor, biar nanti aku tidak telat sekembalinya mengantar mu", jelasnya. Hari ini memang jadwal dia bekerja shift siang. Dia pun segera menaiki motornya dan pergi ke kantor.

Tidak ada 5 menit dia sudah kembali ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 lewat 15 menit, aku pun diminta untuk menaikkan barangku ke mobil. Semua kawan rumahnya ikut mengantar, kami berempat berangkat menuju bandara.

Sekitar 35 menit kami sampai di bandara, sedikit lebih cepat ketika perjalanan ketika aku datang. Aku segera check in tapi tidak langsung masuk ke ruang tunggu, dia mencegahku. "Nanti saja, pesawatnya juga belum datang", begitu katanya.

Di sebelah tempat check in ada pos damkar. Kami berempat duduk disitu. Tak sengaja dia bertemu salah seorang kawan yang membantunya untuk aku mendapatkan tiket hari ini. Mereka berdua tampak asik bercengkrama. Aku tahu, permintaanku sedikit mendadak dari tanggal yang dijanjikan. Lebih cepat sehari, dan agak sulit memdapatkan kursi disaat musim liburam seperti ini. Karena itu tampaknya dia meminta bantuan kawannya tersebut.

Selesai bercengkrama dia kembali kepada kami. Duduk disebelahku tapi tidak bicara sama sekali. Aku merasa serba salah, aku ingin memecah keheningan ini tapi aku takut salah bicara. Jadi kudiamkan saja.

Pesawatku sudah datang, kedua kawannya langsung beranjak dari duduknya bersiap untuk melakukan perpisahan. Aku bersalaman dengan mereka, aku bilang untuk mengabarkan kalau mereka mau ke Jakarta biar nanti aku temani jalan-jalan. Lalu mereka segera menuju parkiran. Aku dan dia mengikuti mereka berjalan dari belakang, hanya saja kami berbelok ke bagian pemerikasaan. Aku melihat wajahnya, spontan aku berkata, "yah dia sedih.. matanya ngembeng, kasian". Dia sedikit terlihat kecewa dan kembali menahanku di depan pos pemeriksaan. Aku mengelus perutnya yang agak buncit, "jaga diri baik-baik yah, makan teratur, jaga kesehatan", pesanku padanya. Sesungguhnya aku ingin memeluknya, melakukan ritual ciuman kami, tapi dengan budaya timur rasanya tidak mungkin berpelukan sembarangan di depan orang banyak. Jujur sedih sekali rasanya, aku ingin kembali menghirup aroma tubuhnya, untuk kurekam dalam ingatanku.

Aku pun melewati pos pemeriksaan, tapi dia masih mengikutiku dari balik dinding. Dia melongok dari sebuah jendela kecil yang menyambung ke ruang tunggu. Aku kembali mendekatinya sambil menunggu penumpang lain masih menuju bus yang mengantar ke pesawat. Aku menggenggam tangannya, dia pun turut melakukan hal yang sama. Begitu kuat, bahkan rasanya aku merasakan perasaan kehilangan yang besar dari dirinya.

Aku bilang, "sampai jumpa lagi", walau aku tidak tahu kapan kami bisa berjumpa lagi. Entah apa yang akan terjadi dari hubungan ini, ketakutan antara dilupakan atau melupakan, juga tidak tahu siapa yang paling merasa kehilangan, yang pergi atau yang ditinggalkan. Aku tidak pernah ingin pergi dari sisinya, karena aku tahu rindu ini menguatkan. Tapi aku lebih tidak tahu takdir yang sedang kami jalani akan membawa kami ke akhir seperti apa. Ada hal yang lebih banyak harus kami perjuangan selain jarak, yaitu perbedaan keyakinan. Menahan kami selama bertahun-tahun, untuk tidak beranjak kemanapun.

Selesai