Senin, 17 Agustus 2015

HUTAN KENANGA

Alkisah hiduplah seorang pemuda miskin yang bekerja mencari kayu bakar di hutan untuk dijual, Brata nama pemuda itu. Pekerjaannya ini menuntutnya harus bekerja keras demi mendapat makanan sehari-hari. Suatu ketika dalam pencarian mencari kayu bakar di hutan yang dianggapnya sedang kurang menghasilkan, dirinya merasa lelah. Apalagi sudah 2 hari dirinya belum makan, maka semakin lemaslah ia. Kemudian disaat ia menyenderkan badannya ke sebuah batang pohon yang cukup besar dan tua, badannya terperosok ke dalam. Karena kaget segera ia berusaha mengangkat badannya, dan menemukan sebutir telur di dalam pohon tersebut. Terbit air liurnya melihat telur tersebut, terbayang dadar telur ataupun telur rebus di kepalanya bila ia mengambil telur tersebut. Lalu dengan perlahan diambilnya telur tersebut, tapi betapa kagetnya ketika Brata berbalik sudah ada ular dengan mata yang penuh amarah berdiri di depannya. Sang ular menatap tajam ke arah Brata seraya berkata, “siapa kau? Berani mengganggu kediamanku dan berusaha mengambil telurku?!”. Dengan penuh ketakutan Brata berkata, “aku..aku..sangat lapar. Maafkan aku yang lancang karna telah mengambil telurmu ibu ular..”. “tidak bisa!!”, teriak ular tesebut. “tidak ada yang berani melawan Nyai Kenanga, aku tidak akan mengampunimu. Bersiaplah kau akan kumangsa!”. “jangan!!! Ampun....aku akan menuruti keinginanmu asalkan kau tidak membunuhku” Brata berkata penuh ketakutan. Nyai Kenanga lalu merasa iba, “baiklah, aku akan mengampunimu asalkan kau mau menjadi suamiku” ujar Nyai Kenanga. Dengan pasrah Brata memenuhi syarat tersebut dan tinggallah ia di hutan.

Beberapa tahun kemudian, Nyai Kenanga dan Brata melahirkan anak bernama Meranti. Meranti tumbuh menjadi gadis yang baik hati, ia akrab dengan para penghuni hutan. Walaupun tubuh Meranti terdapat sisik di beberapa bagian tubuhnya, ia tidak berkecil hati. Suatu ketika adalah seorang Pangeran Muda yang datang ke hutan, pangeran ini bernama Sanjaya. Pangeran Sanjaya senang berburu binatang di hutan, dan suatu saat di hari perburuan Pangeran Sanjaya dirinya melihat ular besar yang sedang merayap di batang pohon. Pangeran Sanjaya bersiap membidik, tanpa disadarinya di kejauhan tampak Meranti yang memperhatikannya. Ular besar tersebut adalah Nyai Kenanga yang sedang ingin beristirahat. Saat busur panah siap melesat, Meranti segera berlari ke arah ibunya dan pundaknya terluka terkena anak panah. Pangeran Sanjaya terkejut ketika anak panahnya mengenai seorang gadis, segera ia hampiri gadis tersebut dan melupakan ular besar yang telah kabur. Meranti merintih kesakitan, tapi sakitnya dengan cepat terlupakan karena terpesona dengan ketampanan sang Pangeran. Pangeran yang merasa bersalah menawarkan diri untuk membawanya ke kota untuk mengobatinya tapi ditolak oleh Meranti. Meranti hanya ingin pulang ke rumahnya, sesampai mereka berdua di rumah Pangeran kaget melihat sang ular ada di rumah tersebut dan Pangeran lebih kaget lagi ketika mengetahui bahwa ular tersebut adalah ibu Meranti.

Beberapa hari kemudian Pangeran sering mengunjungi Meranti untuk memastikan keadaannya. Lain lagi di Istana, Raja Durga ayahanda dari Pangeran Sanjaya merasa bingung dengan putranya yang tiap hari pergi ke hutan dan pulang tanpa hasil buruan. Diam-diam diikutinya sang putra ke dalam hutan, dan betapa kagetnya ketika ia tahu putranya berteman dengan wanita siluman ular. Sesampainya Pangeran Sanjaya di istana, Raja Durga marah besar. Ia melarang putranya datang ke hutan, tapi apa mau dikata Pangeran Sanjaya terlanjur jatuh hati dengan kebaikan hati Meranti. Tidak terima dengan perkataan anaknya, Raja Durga diam-diam berencana menbunuh wanita siluman itu.


Keesokan harinya Raja mendatangi kediaman Meranti, dlihatnya Meranti sedang sibuk memasak di dapur. Raja Durga mendekati perlahan dengan pisau di genggamannya. Sialnya sebelum Raja berhasil menusuk Meranti, dirinya sudah terlebih dahulu dililit oleh Nyai Kenanga dan mati lemas karenanya. Dan akhirnya dari penjelasan Nyai Kenanga, Pangeran Sanjaya pun bisa memahami dan mereka berdua yaitu Pangeran Sanjaya serta Meranti menikah dan hidup bahagia meneruskan tahta sang Raja di istana.

AYO LOMPAT!

“Lompat!! Ayo lompat sekarang!!... jangan ragu, ada kami disini.. tidak akan sakit”, suara-suara itu terus terngiang di kepalaku, ah bukan tapi di kupingku, tidak tidak.. suara itu terus menerus saling bersahutan di sekelilingku.

Kulihat ke bawah, ada jarak sekitar 15 meter sebelum akhirnya aku bias mencapai sana. Aneh. Tidak ada perasaan ngeri sedikitpun yang menghampiri. Ujung sepatuku sudah melewati tembok pembatas sekitar 8 senti. Takut, ngeri, perasaan macam iyu tidk dapat aku rasakan. Tapi aku merasakan telapak tanganku basah. Yang entah mengapa justru menambah keinginanku untuk segera melompat.

Seperti ada kedamaian disana..

Seperti ada orang-orang yang sangat ingin segera kutemui..

Kubisikkan kata pelan, kuhitung… “3” sambil kurentangkan kedua tanganku seperti mau terbang. “2” kumajukan sedikit demi sedikit ujung sepatuku. “1” kupejamkan mataku sambil kunikmati semilie angina yang membelai pipi ini. “0”


Mataku terbuka…
Segera kubangunkan badanku dan melihat sekeliling. Kanan. Kiri. Banyak orang, ada laki dan perempuan. Mereka saling berteriak sesuatu yang masih belum dapat kutangkap. Tapi kulihat mereka menatap ke atas. Saat kuikut melihatnya, ada sekitar 2, atau 3 orang di atas atap sebuah gedung. Dan mereka seperti bersiap ingin melompat.

Aku pun terperangah, dan reflek mengatakan “awasss… jangan melompat!!”

“lompat saja…”

“ayo lompat…”

“kami menunggumu disini…”

“Cepat lompat…”

Dan sekali lagi aku terkaget dan segera menatap orang-orang disekelilingku, muka mereka… terlihat lapar dan beringas.

Bunyi berdebum mengalihkan aku, sepertinya sudah ada yang melompat. Dan serentak orang-orang ini berebut menghampiri.. dengan kondisi badan yang ternyata TIDAK UTUH.

“aku dapat kakinya!”

“aku pemilik tangannya!”

Sahutan mereka terdengar ngeri di telingaku, dan tidak lama di kejauhan ada seseorang yang berdiri dengan tubuh yang lengkap lali berkata “akhirnya aku bias pergi dari neraka ini”, dan menghilanglah iya.

Sesaat aku bingung, tapi kulihat di belakangku muncul bayangan-bayangin menyedihkan yang kondisinya jauh lebih parah dari yang berlarian kemudian kutatap tubuhku. TANPA TANGAN.

Tersadar, itulah cara agar aku terbebas dari sini.
Ruang penyesalan.
Kutengadahkan kepalaku melihat sisa orang di atas, dan kukatakan dengan lantang, “AYO LOMPAT!!”

GEPENG

Aku memanggilnya gepeng, itu bukan nama asli hanya sebutanku. Dia teman yang sering menemaniku tidur dari kecil. Kata ibuku gepeng ini tadinya gemuk, tapi seiring waktu iapun akhirnya mengecil dan tubuhnya pun menjadi kurus alias gepeng. Tapi tau tidak, seminggu lalu gepeng menghilang tanpa jejak. Kucek ke kamar, dapur, ruang keluarga, gepeng tidak ada. Ku berlari ke arah taman belakang. Biasanya gepeng suka bersantai disana dekat tempat jemuran. Nihil. Langkahku gontai memasuki rumah.

Malam harinya kamarku terasa sepi tanpa gepeng. Biasanya sebelum tidur aku suka bercerita tentang apa saja yang kualami seharian tadi. Dan gepang akan setia mendengarkan tanpa membantah di sebelahku. Kupaksakan mata ini terpejam. Berharap besok gepeng akan kembali menyapaku disaat aku terbangun.

Semburat sinar pagi menggelitik wajahku. Dan otomatis akupun terbangun dari tidur. Menggeliat, ku tengok sebelah kananku. Kosong. Gepeng tetap tak ada. Dengan langkah yang terseret, kupaksa keluar kamar dan memasuki kamar mandi.

Sehabis sarapan aku berniat berkeliling sekitar rumah untuk mencari keberadan gepeng. Walau mungkin para tetangga akan sulit mengenali temanku ini. Dua tetangga kiri kanan ku sudah kutanyakan, tapi mereka malah bingung. Karna memang jarang sekali gepeng keluar rumah. Tapi niatku belum surut, aku harus menemukan gepeng!

Tak terasa langkahku sudah mencapai ujung jalan, kulihat di lapangan banyak anak-anak bermain bola. Mungkinkah salah satu dari mereka tahu akan keberadaan gepeng bila kutanyakan? Kutatap mereka lama. Tanpa sengaja, ada bola menggelinding ke dekat kakiku. Seorang bocah menghampiri untuk mengambilnya.

“permisi kak.. mau ambil bola”, kuanggukan kepalaku. Sesaat aku memanggil lagi bocah yang sedang menuju ke teman-temannya kembali. “hei dik..!”, teriakku. Bocah itu kembali mendatangiku. Segera kutanyakan perihal gepeng kepadany. “sebentar yah” kata anak itu dan segera berlari menghampiri teman-temannya yang lain. Terlihat mereka saling berbicara satu sama lain. Tak lama bocah si pengambil bola kembali menghampiriku.

“kemarin teman saya ada yang melihat, gepeng bersama seekor anjing pergi menuju komplek belakang. Lalu ada seorang pemulung mendekati mereka. Habis itu temen saya gak tau lagi kak.” ahh ketakutan mulai menyergapku. Kuucapkan terimakasih lalu segera berlari ke arah komplek belakang, tidak lupa kutanyakan ciri-ciri si pemulung.

Komplek belakang terkenal memang sepi, jarang warganya yang keluar untuk berbaur. Kucari pemulung bermodal ciri-ciri yang disebutkan anak-anak tadi. Sejam. Dua jam. Tidak terlihat pemulung tersebut ataupun pemulung yang lain. Pupus sudah harapan menemukan gepeng.
3 hari sudah gepeng tidak menemani ku tidur. Hampa.

Di hari kelima, sepulang sekolah ibu menyambutku di teras dengan senyuman. “cepat ganti baju dan menuju ruang makan, ibu punya sesuatu untuk menghilangkan kesedihan mu beberapa hari ini”, katanya. Kubilang saja kalau itu hanya sesuatu untuk menggantikan posisi gepeng, ibu hanya melakukan hal yang percuma. “ini lain”, sahut ibuku lagi.


Kupatuhi perintah ibu. Selesai mengganti pakaian aku duduk di meja makan. Tiba-tiba ada sesuatu menutup matanya. Suaranya menggema di telingaku “sekarang coba lihat ke belakang”. Kutengokkan kepalaku dengan sedikit malas, tapi senyumku merekah dengan segera ketika kulihat gepeng duduk di bangku belakangku. Kupeluk dia, kuhirup aroma tubuhnya yang khas. Tidak berubah. Akhirnya.. gepeng kembali. Yah, gulingku kembali. Ibu menemukannya saat seorang pemulung membawanya. Gepeng menghilang saat ibu sedang menjemurnya di teras depan. Mungkin saat itulah seekor anjing membawanya. Tidak penting sudah, yang pasti nanti malam gepeng akan menemani ku tidur kembali.