Ahh lagi-lagi si bapak tua meracau hal yang sama lagi…
“kemarin juga bapak bilang begitu, tapi buktinya sekarang masih segar bugar
kan?”, kataku sembari menghabiskan sisa ketoprak di piring. Si bapak hanya
tersenyum, “bukankah kematian memang selalu mengintai kita nak?”. Getir, aku
tidak ingin membahasnya.
********
Yahh.. si bapak tua itu tukang sapu dekat kantorku, aku tak
sengaja berkenalan dengannya saat jam makan kantor. Ketika sedang makan, si
bapak duduk disampingku dengan wajah kelelahan dan tiba-tiba berkata, “besok
saya mati..” sontak saja aku terbatuk dan melontarkan makanan di mulutku.
“bapak mau bunuh diri?!” kataku. “tidak” gelengnya. “memang bapak itu tuhan,
hingga tau ajal bapak sendiri..” lanjutku dengan nada bicara yang meninggi.
“ahh.. apalagi itu, bukan lah.. saya bukan tuhan” jawab si bapak. “hanya saja,
setiap malam setiap hendak memejamkan mata perasaan saya mengatakan seperti
itu” lanjut si bapak.
Dua batang rokok sudah habis dihisapnya.. kami berdua
terdiam cukup lama. Piring kosong bekas makanku sudah diangkat. Aku belum tahu
nama bapak disampingku, dan belum berniat berkenalan juga. Bukan sombong, hanya
saja aku takut tertular cara berpikirnya yang aneh.. iya aneh menurutku.. haha.
“jadi adik ini bekerja di kantor yang mana?” tiba-tiba si
bapak membuka pembicaraan kembali. “yang itu..” tunjukku ke gedung dengan ujung
meruncing di belakang kami. “oooo… sudah lama disana?” tanyanya lagi. “dua
bulan lagi saya genap setahun kerja disana” sahutku cepat. “betah memang?” si
bapak bertanya lagi. “yaa dibetah-betahin aja lah.. namanya juga mengais
rejeki” duhh saya mulai merasa malas meladeni pertanyaan bapak ini, kataku
dalam hati. Dengan alasan sibuk kutinggalkan saja dirinya.
******
Dari seberang jalan kulihat si bapak yang kemarin, di
tangannya masih tergemgam sapu lidi bergagang panjang. Segera kuhampiri dirinya sembari menawarkan
ajakan makan siang, “kalau sudah selesai kerja, ikut makan dengan saya pak!” si
bapak hanya tersenyum, tidak mengiyakan ataupun menolak.
Kali ini dua mangkok soto plus nasi sudah ada di meja ku, masi
mengepul panas. Soto tidak langsung kusantap, menunggu si bapak mendatangiku
yang entah kenapa sangat ingin kuajak bicara hari ini. Sayang… sampai waktu
istirahatku habis dan soto mendingin, si bapak tidak tampak batang hidungnya.
******
“nama saya suratno…”, lagi-lagi kehadirannya di sebelahku
yang mendadak mengagetkanku. “kemarin bapak kemana? Saya ingin traktir makan
malah gak dating-datang” ujarku tanpa mempedulikan omongannya. Dengan terkekeh,
bapak itu berkata “kamu baik sekali nak.. pasti akan menyenangkan kalau kita
bias makan enak di hari terakhir hidup kita. Pasti saya juga akan makan
sepuas-puasnya, tapi itupun kalau punya uang yah.. hahahaha” mendengar
jawabannya aku hanya bias menggaruk kepala yang sebenernya tidak gatal. “mulai
meracau gila lagi tampaknya bapak ini” pikirku. “saya permisi, mau
menghantarkan pesanan makanan para karyawan pak!” sahutku padanya dengan
terburu. “yayaya.. silahkan, senang bias berkenalan denganmu nak. Jangan sedih
walau Cuma jadi bawahan, di mata Tuhan kita semua sama.. hanya amal ibadah yang
membedakan” kata pak suratno seraya menepuk pundakku.
*******
Beberapa hari ini, waktu istirahatku ditemani petuah-petuah
dan pembicaraan yang berujung pada kematian. Bapak Suratno, perantau dari jawa
yang mengais rejeki di ibukota. Berawal dari kuli bangunan dan berakhir menjadi
tukang sapu jalanan. Teringat anaknya saat melihatku pertama kali, dan selalu
terbayang akan kematian dirinya setiap malam. Takut. Mati. Sendiri. Tiga kata
yang aku tangkap darinya dari beberapa hari ini. Dia ingin ada seseorang
disampingnya bila besok dia mati.
“pulang saja pak ke kampung” saranku suatu ketika. “sanak
saudara masih ada? Istri? Anak?” tanyaku bertubi. “mungkin ada.. mungkin juga
tidak” jawabnya sembari menerawang ke langit. “paling tidak, bila benar besok
saya mati, saya senang sudah bias bertemu nak biru disini” dan percakapan itu
yang mengakhiri pertemuanku siang ini dengannya. Pamit mundur, waktu istirahat
habis kukatakan padanya. Dan ketika aku berlari menyebrang, aku mendengar pak
suratno berteriak ke arahku “besok….$#&*@#%&*” tertelan deru kendaraan,
aku tak mendengar jelas. paling dia hanya ingin mengatakan kalau besok dia mau
mati…
*******
Sendu. Kali ini kulihat raut muka Pak Suratno tak seceria
biasanya, karna penasaran kudekati dirinya dan menyapa, “bapak sehat? Sudah
makan?” dia hanya menggeleng. “jangan bilang kalau besok bapak mau mati…”
tanyaku tanpa curiga. Matanya hanya menatap ku nanar, lalu kulihat ada air yang
menggenang di pelupuknya. “bapak sedang ada masalah?” kali ini pertanyaanku
semakin menyelidik. Mulut Pak Suratno tetap terkatup rapat, bahkan dia malah
pergi meninggalkanku sendiri. “aneh, tidak seperti biasanya…” gumamku.
Pesanan para karyawan sudah di tangan, tapi keanehan yang
disebabkan Pak Suratno terus mengahantuiku. Sambil terus berpikir, aku
menyebrang jalan dengan lalai tanpa melihat kanan kiri lagi. Dan dari kejauhan
sebuah mobil bak terbuka melaju kencang, terkaget melihat diriku dan kemudian
oleng..lalu GELAP.
Samar kudengar orang berteriak memanggil pertolongan, banyak
orang berkerumun disekitarku. Gelas jus plastic sudah tumpah di sampingku, tapi
aku merasa lunglai tak dapat bergerak. Entah waktu yang terasa cepat berlalu,
rasanya pandangan mata ini semakin gelap. Diantara sisa sinar yang kulihat, ada
Pak Suratno di ujung jalan, di belakang kerumunan orang menatapku masih dengan
ekspresi menyedihkan. Dan akhirnya sayup kuingat kata-katanya kemarin sebelum
akhirnya pandangan ini benar-benar menjadi gelap, “BESOK KAMU MATI”.
--------------TAMAT-----------------