Kamis, 17 Mei 2018

Tragedi Mei 1998 di benak saya

Tidak banyak hal yang bisa saya ingat ketika tragedi 1998 terjadi, yang saya ingat saat itu saya yang baru menginjak kelas 4 SD. Terbangun dari tidur siang setelah adzan ashar karena mendadak di depan rumah suara sangat ramai.

Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak tanggung berlarian seperti akan  mengunjungi suatu pertunjukan. Bahkan beberapa yang terlihat bisa saya kenali kalau itu tetangga dan teman sepermainan saya. Ibu saya melarang melangkahkan kaki keluar rumah, jadi saya hanya melihat mereka dari dalam pagar rumah.

Tidak lama seorang tetangga dengan anaknya yang sepantaran abang saya (sekitar 3 tahun diatas saya umurnya) membawa plastik dengan isi makanan kaleng dan potongan mentega juga selai sekali pakai. "Ini buat kamu, kalau mau lagi tunggu disini nanti saya ambilkan", kata anaknya sambil kembali berlari ke arah dia datang.

Saya semakin penasaran ketika melihat seseorang mendorong troli supermarket penuh dengan makanan dan cemilan. "Jangan-jangan ada yang bagi-bagi makanan gratis", pikir saya saat itu. Ketika saya melihat abangku diluar bersama teman lainnya naik sepeda, reflek saya beranikan diri keluar mengejarnya.

Di ujung jalan perhentian menuju jalan besar, abang saya berhenti bersama teman-temannya. Saya mendekatinya. Disitu ternyata gerombolan orang lebih ramai lagi. Bahkan bukan hanya orang membawa makanan, tapi barang elektronik juga. Dari yang saya dengar swalayan deket rumah dijarah, tanpa saya tau apa artinya. Plastik pemberian tetanggaku masih kupegang, abang ku melihat isinya dan dia tertawa. "Buat apa makanan kucing? Adek mau makan emang?", "Itu dikasih tadi", kujawab. Dan tidak lama anak si pemberi plastik datang.

"Lo ngapain ngambil makanan kucing?", Kata abang saya. "Emang iya? Bukannya kornet? Gw asal ambil aja abis di dalam toko gelap banget, udah gitu banyak pecahan beling. Dari botol-botol yang pada jatoh kali", terang si anak tetangga itu.

Saya membayangkan seperti apa kondisi swalayan yang biasa saya datangi bersama ayah saya untuk belanja bulanan itu sekarang. Swalayan G*L**L, merupakan salah satu swalayan besar tanpa pesaing saat itu. Yang terang benderang, dengan kaca-kaca besar yang terlihat megah dari luar. Yang biasanya setelah belanja, ayah akan mengajak saya makanan di resto ayam cepat saji di sebelahnya yang saya tahu ketika sudah besar ternyata masih satu perusahaan.

Ibu si anak sudah kembali lagi untuk menjemput anaknya. Saya dan abang masih menonton orang-orang yang sibuk sendiri. Teman abang mengajak untuk ikut 'menjarah', istilah baru yang saya dengar hari itu. Abang menyuruh saya pulang, tapi tepat sesaat abang saya akan pergi, ibu saya datang menyuruh pulang. Abang dimarahin karena menyangka sudah mengajak saya. Kami lalu pulang, dan saya hanya bisa mencuri dengar suara sari luar yang terus ramai hingga magrib menjelang.

Setelah kejadian itu, di hari-hari berikutnya saya dan abang saya lebih sering di rumah, melihat perkembangan kota lewat tv. sekolah diliburkan. bahkan Bapak saya pun seringkali pulang cepat, dan sebagai anak kecil saya hanya bisa menikmati kesenangan bahwa keluarganya bisa kumpul lengkap.

Hanya itu ingatan singkat saya tentang kejadian 1998 saat itu. Tanpa saya sadari saya sudah menjadi bagian suatu cerita kelam yang pernah terjadi di jakarta. dan di beberapa pelosok daerah juga terjadi kerusuhan kabarnya. Sampai akhirnya saya mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tahun dan bulan itu saat saya kuliah. Mencoba memilah yang salah dan benar, yang fakta dan kebohongan. Bahkan semakin ditelusuri, ternyata kejadian Mei 1998 ini merupakan awal dari rentetan sejarah yang semakin membuat saya penasaran. Sayangnya sejarah kelam ini tidak ada titik terang. Semua hanya dianggap cerita bohong. Pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa, penembakan mahasiswa dengan peluru tajam, penculikan para aktivis yang tidak tahu rimbanya sampai saat ini.

Cuma gundukan tanah sebagai memoar pengingat di TPU Pondok Ranggon saja yang mungkin bisa dilihat oleh generasi sekarang. Atau kelas di kampus Atmajaya dan monumen Trisakti yang didedikasikan untuk mereka yang gugur. Dari kejadian ini juga menjadi pencetus adanya Aksi Kamisan yang digelar setiap Kamis di depan istana negara untk meminta pengusutan para aktivis yang hilang dan tak pernah pulang. Dengan payung hitam dan baju hitam yang sudah menjadi ciri khas aksi ini. 

Memang saat ini terjadi saya belum lah mengerti apapun, bahkan sampai sudah 20 tahun terlewat justru semakin banyak tanda tanya yang ada di kepala saya. siapa yang harus bertanggung jwab? siapa saja yang berperan serta? apa saja yang sebenarnya terjadi? lalu hal apa yang telah dilakukan para aktivis yang selamat sekarang ini? semakin saya mencoba mencari tahu rasanya hal-hal semakin terasa absurd. politik aku benci. sejarah diputar balik. tidak ada yang bisa dipercaya.

0 komentar:

Posting Komentar