Selasa, 27 Desember 2016

27 Desember (Part 1)

Beberapa tahun lalu di tanggal yang sama seperti hari ini, aku masih mengingatnya dengan baik dari semenjak aku turun dari pesawat. Tubuh tegap diantara puluhan orang yang sedang menunggu sang terkasih, begitu jugakah kau? Dengan mata samar, entah kenapa kali ini aku dapat melihatnya sangat jelas. Orang disekitarnya tampak hanya seperti semak semrawut. Ajaib.

Di bandara yang tidak mewah, bukan deretan pilar tinggi hanya berupa rumah sederhana yang dijadikan tempat menunggu turun penumpang, aku mendekati mu dengan perlahan. Kusentuh dada bidang yang sangat kurindukan ini, ingin sekali kumendekapnya dan membisikkan aku telah merindukanmu terlalu lama. Sayang hal itu urung kulakukan, di sebelahku ada seorang Ibu yang kebetulan sempat berkenalan di bandara keberangkatan. Aku sempat mengenalkan Ibu tersebut kepadanya., sebelum akhirnya berpamitan. Disaat seperti ini kadang aku mengutuk kelebihanku kenapa mudah sekali akrab dengan orang baru.

 Kulihat dia tersenyum, menatapku dalam dengan mata sayunya. Kuapit lengannya, dengan nada yang kupaksa sedikit riang aku berkata, “jadi kamu mau ajak aku kemana saja selama disini?”. Dia tidak menjawab, hanya menurukan apitan tanganku lalu kemudiam merangkulku. Aku terenyuh saat kulihat dia menyiapkan mobil di parkiran. Kutanya milik siapa, dia mejawab milik bosnya, “kasian kalau kamu naik motor, perjalanan kita akan jauh” begitu katanya. Di perjalanan kami tidak banyak bercerita, dia hanya berkata harus ke rumahnya dahulu, baru mencari penginapan untukku. Tangannya menggemgam erat jemariku, tidak bisa terlepas. Sampai akhirnya kubilang, “bahaya menyetir satu tangan”. Dia menurut, lalu melepaskan.

Hampir 20 menit perjalanan, hingga akhirnya aku sampai di depan rumahnya. Rumah yang lebih pantas dibilang kontrakan petak ini ditinggali oleh dirinya dan 2 orang temannya. “turun.. langsung masuk ke dalam saja, teman-temanku sudah berangkat kerja. Sebentar aku bawakan barang-barangmu”. Aku tidak menurutinya, tapi malah mengekorinya ke bagasi. Dia hanya tertawa dan mengusap kepalaku.

Rumahnya tidak terkunci ternyata, “percuma”katanya. Tidak ada ada barang berharga di dalamnya, Cuma pakaian kotor dan sampah berserakan ala pria bujangan. Dia menempati kamar di pintu kedua di rumah itu. Aku pun masuk dan takjub melihat isi di dalamnya. Kamarnya tidak terlalu banyak barang, tapi cukup tertata apik, khas dirinya yang senang kerapihan. Tapi yang membuatku kaget adalah bagaimana dia menata barang pemberianku secara rapih. “aku menyusunnya seolah aku sedang dibangungkan olehmu setiap pagi”, begitu katanya seperti sedang membaca pikiranku sambil memelukku dari belakang. Aku melepaskan diri untuk mencoba menatapnya, tapi dia justru menghujaniku dengan ciuman.

Di sela ciuman, dia mengatakan “dari jauh aku sudah melihatmu disana tadi, ingin sekali aku berlari dan mendekapmu. Tak tahunya ada orang lain di sebelahmu, kesal sekali rasanya”. Begitupun yang aku rasakan, asal kau tahu.. tapi itu tak kuucapkan.

Menjelang sore, kawan-kawanmu datang. Kau pun mengenalkannya padaku. Kulihat kau bersemangat sekali, jadi kupikir kau benar-benar menikmati kehidupanmu disini. Kau pun memiliki ide untuk makan malam bersama sebagai perayaan kedatanganku. Semua setuju, dan mobil bosmu kembali kau pinjam lagi. Malam itu, selesai makan kita sempat berkeliling daerahmu. Sangat berbeda dengan ibukota, terlalu sepi untuk kota yang sudah ramai katamu. Aku berpikir apa yang biasanya kau lakukan untuk membunuh sepi setiap harinya.

Pukul 9 malam saat itu, kamu mengatakan harus bergegas mencarikanku penginapan. Aku pun mengangguk, karena kutahu sejam lagi kau pun harus masuk kerja untuk shift malam. Aku meminta dirinya mengantarkan ke salah satu hotel yang sempat aku cari sebelum datang kesini. Dia menyanggupi, “tidak jauh dari sini itu, tapi cukup jauh dari rumahku”.

Sampai di hotel aku bergegas check in ditemani olehnya. Kawan-kawannya menunggu di parkiran. Untungnya tanpa booking, hotel ini masih memiliki sisa kamar. Ini merupakan hotel yang paling terkenal disini, mungkin juga paling besar. karena aku tidak melihat pesaing hotel lain sepanjang perjalanan kesini yang semegah hotel tersebut. Penghujung tahun membuat hotel ini full booking kata resepsionisnya. kami beranjak menuju kamar yang akan kuinapi sementara. Kau hanya mengantarkanku masuk ke kamar, “nanti aku telat, jadi tak bisa lama-lama. Besok pagi selesai kerja aku langsung kesini menjemputmu”. Begitu katanya, lalu pergi setelah mengecup keningku.


…… bersambung

0 komentar:

Posting Komentar