Pukul 3 pagi.. dan aku belum bisa tidur juga. Sesekali aku
menatap dia yang tidur di ranjang sebelahku, tidur begitu damai seperti bayi
dengan selimut yang menggelung di badannya. Jangan bandingkan dengan kasurku
yang sudah kuacak-acak karena kesal. Total 4 kali aku mencoba memencet
hidungnya agar berhenti mendengkur, tapi hanya 2 kali yang berhasil setelah itu
tidak berpengaruh. Aku sudah mencoba mengeraskan volume tv, lagu di handphone,
dan bernyanyi sendiri berharap dia terbangun. Karena terlampau kesal, aku
membuang selimut dan bantalku ke bawah kasur. Menyerah, aku menonton siaran
bola yang notabene aku tidak suka.
Bunyi adzan subuh sayup kudengar dari arah luar hotel, aku
pun bergegas mengambil air wudhu dan berharap amarah ku mereda sebelum fajar
menyingsing. Kuambil mukena ku dari tas, tapi ternyata sajadah kecilku tidak
terbawa didalamnya. Terpaksa kucari handuk bersih yang belum terpakai dan
kujadikan alas sholat. Saat berdoa selesai sholat, aku tidak lagi mendengar
dengkurannya. Kulirik dia yang masih terlelap, aku berdiri dan merapihkan
selimutnya. Aku pun berniat tidur walau sekejap, setelah merapihkan mukena.
Baru saja aku memejamkan mata, aku mendengar suaranya
menegurku, “ini yang tidur sampe selimutnya kemana-mana”. Aku tidak membuka
mataku, dan kurasakan dia mulai menyelimutiku. Aku pura-pura terbangun, walau
rasanya hati menjadi dongkol kembali. Mataku mengerling padanya lalu aku
membalikkan badan. Tiba-tiba dia membaringkan tubuhnya di sebelahku, dan reflek
aku mendorongnya hingga terjatuh lalu kukatan, “jangan ganggu, baru mau tidur
nih”. Dia terlihat bingung menatapku, dan akhirnya memilih mengalah kembali ke
kasurnya.
Mungkin sekitar 1 jam setengah aku terlelap, saat terbangun
aku melihat dia sedang menonton tv. Dan kata pertama yang dia ucapkan adalah, “selamat
pagi, maaf ya.. pasti kamu tidak bisa tidur semalaman karena aku ngorok”. Masih
nampak kekesalan di wajahku, aku pun berkata, “sampe capek aku bikin berisik
semaleman tapi gak kebangun juga”. “harusnya kamu tendang aja aku pas ngorok”,
begitu jawabnya dan memang aku sempat terpikir seperti itu semalam tapi
sayangnya aku tidak tega.
Jadwal hari itu dia mengajak ke pasar dan membeli umpan untuk memancing. Iya kami mau
memancing, dan dia juga mau aku masak untuknya. Padahal yang aku tahu sebagai
laki-laki dia juga senang berkutat di dapur. Dulu sewaktu masih sama-sama di
Jakarta, dia bahkan sering membuatkan aku sarapan yang akan kumakan sembari dia
mengantarku ke kantor. Tapi kali ini dia mau aku memasak untuknya, terserah
masak apa, yang penting aku membuatnya pakai cinta. Lucu.
Waktu menunjukkan pukul 11 siang, aku baru selesai
membereskan barangku. Aku bilang padanya untuk mencari penginapan lain yang
lebih murah, karena keuanganku menipis kalau harus terus menginap disitu. Sekalipun
dia berniat membantu membayarkan, akhirnya dia pun setuju untuk pindah penginapan.
Yang lebih dekat dengan rumahnya tentu saja. Dan kami pun segera check out.
Pasar disini kurang lebih sama dengan pasar tradisional pada
umumnya. Aku membeli daging, telur, dan sayur. Oh iya tidak lupa bumbu dapur
dan teman-temannya. Sehabis itu aku menemainya membeli umpan pancing. Dan
langsung menuju ke rumahnya setelah keperluan kami terbeli semua. Tiba di rumah
aku langsung menyiangi bahan masakan, tapi untuk makan siang aku hanya
membuatkan pizza mie. Iya bahan-bahan itu untuk dipakai saat malam pergantian
tahun nanti memang niatnya. Kebetulan di rumahnya belum ada kulkas, jadi dia
berinisiatif menitip pada tetangganya.
Ketika dia sedang makan, kawan-kawan serumahnya datang, jadi
sekalian saja kusuruh makan siang juga. Untungnya cukup, walau sempat kudengan
dia berkata, “jangan dihabiskan, ini dibuat khusus buatku pakai cinta”. Aku tertawa
mendengarnya di balik kamar, lalu kuhampiri dirinya dan kuusap rambutnya. Selesai
mereka makan aku berniat mencuci piring dan bekas peralatan masak, tapi dicegah
olehnya. Katanya, “kamu sudah masakin buat aku, jadi tenagaku penuh dan
giliranku buat mencucinya”. Ah ya, melihat pemandangan seperti ini membuatku
berkhayal seperti pengantin baru. Susah senang ditanggung bersama, tapi sayang
itu hanya angan semata.
Aku menunggunya selesai mencuci piring di kamar, tak lama
dia pun masuk dan duduk di depan kipas angin. Gerah rupanya. “mau mancing
sekarang atau nanti?”, tanyanya. Aku bilang boleh saja kalau mau sekarang, toh
nanti kita harus cari penginapan lagi. “kamu enggak nyaman yah kalau tdur
disini saja?”, tanyanya lagi. “aku tidak enak dengan kwan-kawanmu, lagipula
rumah ini selalu ramai dengan tamu”, kataku. Dan pembicaraan pun selesai.
Hari ini dia masih libur, jadi bisa menemaniku seharian. Kami
sudah duduk di jembatan pinggir jalan dengan pancinga di tangan kami. Sayang air
masih terlalu surut, jadi tidak banyak ikan yang mencari makan di bawah
jembatan. Dan kami pun pulang dengan tangan hampa, dengan bonus muka yang
tersengat panas matahari.
Sehabis menaruh peralatan memancing di rumahnya, aku meminta
dia untuk membeli makan malam dahulu untuk dimakan di penginapan nanti. Baru habis
itu kami berkeliling mencari temapt aku bermalam. Setelah penginapan ketiga,
akhirnya dia setuju aku menginap disitu. Dia takut kalau harus meninggalkan aku
sendiri di penginapan yang posisinya terlihat tidak aman. Dan ternyata tempat
aku menginap adalah hotel baru di kota itu, jadi tampilan dan fasilitasnya
masih gres.
Kami makan bekal yang kami beli tadi di kamar, akhirnya aku
bisa makan makanan yang rasanya Jakarta sekali. Nasi uduk Lamongan, ahh mantap
jiwa. Pedasnya si sambal langsung membuat rinduku pada Jakarta terbayarkan. Dia
terkekeh melihat aku makan dengan semangat. Tidak butuh waktu lama untuk kami
menghabiskan makan malam kami. Setelah itu dia bertanya apakah aku masih mau
keluar lagi atau tidak, kutanya “memang kita bisa kemana?”. Cari cemilan
katanya.
Dan sekarang aku sudah berada di atas jok motor menembus
dinginnya angin laut dikala malam demi mencari minuman hangat. Padahal tanpa
minuman hangat, punggung di depanku ini terlihat lebih menggiurkan dan dijamin
hangat samapi ke hati. Hehe. Kami berhenti di dekat demaga, lalu dia memesan 2
buah gelas minuman yang baru kutahu namanya Saraba. Minuman ini seperti bajigur
wujudnya, tapi rasa jahenya kuat seperti wedang ronde. Kira-kira begitu
menurutku. Aku tidak menghabiskan minumanku, karena mendadak perut ini terasa
kembung. Aku memintanya mengantar ke apotik terdekat, badanku mulai tak enak
seperti masuk angin.
Di hotel aku segera minum obat yang kubeli, dan menutupi
tubuhku dengan selimut. Dia juga membantu menyelimutiku. Aku mengatakan, “kalau
kamu kerja pagi nanti tidak apa pulang saja, aku juga mau tidur”. “aku tunggu
sampai kamu tidur, baru nanti aku pulang”, begitu jawabnya. Obatku tampaknya
mulai bereaksi, aku pun terlelap dan berdoa semoga sakit ini tidak akan membuat
dia kerepotan.
...... bersambung
0 komentar:
Posting Komentar