Kamis, 29 Desember 2016

29 Desember (Part 3)

Pukul 3 pagi.. dan aku belum bisa tidur juga. Sesekali aku menatap dia yang tidur di ranjang sebelahku, tidur begitu damai seperti bayi dengan selimut yang menggelung di badannya. Jangan bandingkan dengan kasurku yang sudah kuacak-acak karena kesal. Total 4 kali aku mencoba memencet hidungnya agar berhenti mendengkur, tapi hanya 2 kali yang berhasil setelah itu tidak berpengaruh. Aku sudah mencoba mengeraskan volume tv, lagu di handphone, dan bernyanyi sendiri berharap dia terbangun. Karena terlampau kesal, aku membuang selimut dan bantalku ke bawah kasur. Menyerah, aku menonton siaran bola yang notabene aku tidak suka.

Bunyi adzan subuh sayup kudengar dari arah luar hotel, aku pun bergegas mengambil air wudhu dan berharap amarah ku mereda sebelum fajar menyingsing. Kuambil mukena ku dari tas, tapi ternyata sajadah kecilku tidak terbawa didalamnya. Terpaksa kucari handuk bersih yang belum terpakai dan kujadikan alas sholat. Saat berdoa selesai sholat, aku tidak lagi mendengar dengkurannya. Kulirik dia yang masih terlelap, aku berdiri dan merapihkan selimutnya. Aku pun berniat tidur walau sekejap, setelah merapihkan mukena.

Baru saja aku memejamkan mata, aku mendengar suaranya menegurku, “ini yang tidur sampe selimutnya kemana-mana”. Aku tidak membuka mataku, dan kurasakan dia mulai menyelimutiku. Aku pura-pura terbangun, walau rasanya hati menjadi dongkol kembali. Mataku mengerling padanya lalu aku membalikkan badan. Tiba-tiba dia membaringkan tubuhnya di sebelahku, dan reflek aku mendorongnya hingga terjatuh lalu kukatan, “jangan ganggu, baru mau tidur nih”. Dia terlihat bingung menatapku, dan akhirnya memilih mengalah kembali ke kasurnya.

Mungkin sekitar 1 jam setengah aku terlelap, saat terbangun aku melihat dia sedang menonton tv. Dan kata pertama yang dia ucapkan adalah, “selamat pagi, maaf ya.. pasti kamu tidak bisa tidur semalaman karena aku ngorok”. Masih nampak kekesalan di wajahku, aku pun berkata, “sampe capek aku bikin berisik semaleman tapi gak kebangun juga”. “harusnya kamu tendang aja aku pas ngorok”, begitu jawabnya dan memang aku sempat terpikir seperti itu semalam tapi sayangnya aku tidak tega.

Jadwal hari itu dia mengajak ke pasar dan membeli  umpan untuk memancing. Iya kami mau memancing, dan dia juga mau aku masak untuknya. Padahal yang aku tahu sebagai laki-laki dia juga senang berkutat di dapur. Dulu sewaktu masih sama-sama di Jakarta, dia bahkan sering membuatkan aku sarapan yang akan kumakan sembari dia mengantarku ke kantor. Tapi kali ini dia mau aku memasak untuknya, terserah masak apa, yang penting aku membuatnya pakai cinta. Lucu.

Waktu menunjukkan pukul 11 siang, aku baru selesai membereskan barangku. Aku bilang padanya untuk mencari penginapan lain yang lebih murah, karena keuanganku menipis kalau harus terus menginap disitu. Sekalipun dia berniat membantu membayarkan, akhirnya dia pun setuju untuk pindah penginapan. Yang lebih dekat dengan rumahnya tentu saja. Dan kami pun segera check out.

Pasar disini kurang lebih sama dengan pasar tradisional pada umumnya. Aku membeli daging, telur, dan sayur. Oh iya tidak lupa bumbu dapur dan teman-temannya. Sehabis itu aku menemainya membeli umpan pancing. Dan langsung menuju ke rumahnya setelah keperluan kami terbeli semua. Tiba di rumah aku langsung menyiangi bahan masakan, tapi untuk makan siang aku hanya membuatkan pizza mie. Iya bahan-bahan itu untuk dipakai saat malam pergantian tahun nanti memang niatnya. Kebetulan di rumahnya belum ada kulkas, jadi dia berinisiatif menitip pada tetangganya.

Ketika dia sedang makan, kawan-kawan serumahnya datang, jadi sekalian saja kusuruh makan siang juga. Untungnya cukup, walau sempat kudengan dia berkata, “jangan dihabiskan, ini dibuat khusus buatku pakai cinta”. Aku tertawa mendengarnya di balik kamar, lalu kuhampiri dirinya dan kuusap rambutnya. Selesai mereka makan aku berniat mencuci piring dan bekas peralatan masak, tapi dicegah olehnya. Katanya, “kamu sudah masakin buat aku, jadi tenagaku penuh dan giliranku buat mencucinya”. Ah ya, melihat pemandangan seperti ini membuatku berkhayal seperti pengantin baru. Susah senang ditanggung bersama, tapi sayang itu hanya angan semata.

Aku menunggunya selesai mencuci piring di kamar, tak lama dia pun masuk dan duduk di depan kipas angin. Gerah rupanya. “mau mancing sekarang atau nanti?”, tanyanya. Aku bilang boleh saja kalau mau sekarang, toh nanti kita harus cari penginapan lagi. “kamu enggak nyaman yah kalau tdur disini saja?”, tanyanya lagi. “aku tidak enak dengan kwan-kawanmu, lagipula rumah ini selalu ramai dengan tamu”, kataku. Dan pembicaraan pun selesai.

Hari ini dia masih libur, jadi bisa menemaniku seharian. Kami sudah duduk di jembatan pinggir jalan dengan pancinga di tangan kami. Sayang air masih terlalu surut, jadi tidak banyak ikan yang mencari makan di bawah jembatan. Dan kami pun pulang dengan tangan hampa, dengan bonus muka yang tersengat panas matahari.

Sehabis menaruh peralatan memancing di rumahnya, aku meminta dia untuk membeli makan malam dahulu untuk dimakan di penginapan nanti. Baru habis itu kami berkeliling mencari temapt aku bermalam. Setelah penginapan ketiga, akhirnya dia setuju aku menginap disitu. Dia takut kalau harus meninggalkan aku sendiri di penginapan yang posisinya terlihat tidak aman. Dan ternyata tempat aku menginap adalah hotel baru di kota itu, jadi tampilan dan fasilitasnya masih gres.

Kami makan bekal yang kami beli tadi di kamar, akhirnya aku bisa makan makanan yang rasanya Jakarta sekali. Nasi uduk Lamongan, ahh mantap jiwa. Pedasnya si sambal langsung membuat rinduku pada Jakarta terbayarkan. Dia terkekeh melihat aku makan dengan semangat. Tidak butuh waktu lama untuk kami menghabiskan makan malam kami. Setelah itu dia bertanya apakah aku masih mau keluar lagi atau tidak, kutanya “memang kita bisa kemana?”. Cari cemilan katanya.

Dan sekarang aku sudah berada di atas jok motor menembus dinginnya angin laut dikala malam demi mencari minuman hangat. Padahal tanpa minuman hangat, punggung di depanku ini terlihat lebih menggiurkan dan dijamin hangat samapi ke hati. Hehe. Kami berhenti di dekat demaga, lalu dia memesan 2 buah gelas minuman yang baru kutahu namanya Saraba. Minuman ini seperti bajigur wujudnya, tapi rasa jahenya kuat seperti wedang ronde. Kira-kira begitu menurutku. Aku tidak menghabiskan minumanku, karena mendadak perut ini terasa kembung. Aku memintanya mengantar ke apotik terdekat, badanku mulai tak enak seperti masuk angin.

Di hotel aku segera minum obat yang kubeli, dan menutupi tubuhku dengan selimut. Dia juga membantu menyelimutiku. Aku mengatakan, “kalau kamu kerja pagi nanti tidak apa pulang saja, aku juga mau tidur”. “aku tunggu sampai kamu tidur, baru nanti aku pulang”, begitu jawabnya. Obatku tampaknya mulai bereaksi, aku pun terlelap dan berdoa semoga sakit ini tidak akan membuat dia kerepotan.


...... bersambung

0 komentar:

Posting Komentar