Rabu, 28 Desember 2016

28 Desember (Part 2)

Lampu di handphone ku menyala, tanda ada pesan yang masuk. Saat itu pukul 1 dini hari. Mataku belum terpejam, bahkan bisa dibilang tidak mengantuk sama sekali. Kuambil handphone ku lalu kubaca pesan yang ternyata darinya. Pesan itu berbunyi “sudah sedekat ini tapi masih saja tidak bisa bersama, aku rindu kamu. Sungguh”. Aku tersenyum, sambil segera membalas pesannya, “kan barusan ketemu, masa masih rindu. Gimana kerjaanmu malam ini?”. Ting. Pesan baru sudah masuk kembali, “enggak fokus, kepikiran kamu. Belum tidur?” dan kujawab “nanti penilaianmu jelek kalau males kerja. Belum ngantuk nih”. Agak lama dia tidak membalas pesanku, sekitar 10 menit kemudian pesan baru masuk, “tidur sana, kita akan pergi jauh nanti. Jangan sampai malah kamu tidur di jalan. Selamat tidur :* “.

Hehe.. membaca pesan itu membuatku lupa membalas, dan sepertinya dia menunggu balasanku karena pesan selanjutnya begitu terlihat tidak sabaran, “aku beneran ditinggal tidur nih?”. Langsung saja kubalas, “iya aku tidur duluan yah, kamu kerjanya yang fokus. Hati-hati”. Kutarik selimutku menutupi muka. Cuaca diluar terasa dingin, mungkin karena dekat dengan laut tapi entah kenapa tubuhku rasanya hangat. Yah mungkin karena cinta.

Alarm di handphone ku berbunyi, tersetting pukul 5 pagi seperti alarm aku biasa bangun untuk berangkat kerja. Tubuhku tampaknya terlalu tidak sabaran hari ini, beda sekali dengan bangun pagi di ibukota. Aku mengecek kotak pesan, tidak ada yang baru. “mungkin dia sibuk”, pikirku. Sarapan pagi pasti belum tersedia, dan kebetulan aku juga bukan orang yang biasa sarapan. Tapi apa boleh buat, tidak sarapan saat di hotel itu sebuah kerugian dan aku bingung harus melakukan apa untuk menunggu satu setengah jam lagi kira-kira.

Aku menyalakan tv kabel, membuka jendela, lalu pergi ke kamar mandi. Membuang sesuatu yang harus dibuang, iya itu saja yang kulakukan. Sambil bermain game di handphone, ritual ini bisa memakan waktu hingga setengah jam. Ide bagus bukan?.

Jam di handphone menunjukkan pukul 05.35, kuketik pesan untuknya “aku sudah bangun, kayanya kepagian. Kamu masih di kantor?”. Pesan dikirim. Ku tuntaskan hajatku, lalu kembali menggelung di kasur. Pesanku tidak terbalas hingga pukul 6 pagi.

“aku mandi dulu, baru nanti aku ke hotel yah”, begitu katanya. Kujawab, “iya, jangan sarapan. Bareng saja nanti disini”. “ok”, singkat dibalasnya. Aku masih malas mandi, lantai kamar mandinya tadi dingin sekali dan sendal kamar tidak sengaja terguyur air olehku. Air panas yang ada pun tidak membuat keinginan untuk mandi datang. Jadi kuputuskan menunggu dia saja, lalu sarapan. Mungkin perut yang terisi membuat badanku jauh lebih hangat untuk mandi nanti.

Pukul 7 lewat 15 menit, ada yang mengetuk pintu kamar ku. Kukira dia ternyata bukan. Room service menanyakan apakah mau dibersihkan sembari aku sarapan. Teringat genangan air di kamar mandi, jadi kuputuskan untuk membersihkan dan aku pergi ke restoran sembari menunggunya. Di restoran ternyata ramai, petugas hotel meminta kartu makanku tapi aku mengatakan hanya ingin melihat saja. Lalu akupun beranjak ke lobby hotel.

Dan akhirnya aku memutuskan sarapan terlebih dahulu. Bukan karena lapar, tapi terlampau salah tingkah karena dia tak kunjung datang. Kulihat jam tangan, pukul 9 pagi. Pesan dan telepon ku padanya tidak mendapat jawaban. Sedikit dongkol, aku menyelesaikan sarapanku lalu kembali masuk ke kamar. “apa dia sengaja mau membiarkan aku sendirian disini?”, sempat terpikir bahwa dia menjahatiku.

Sekitar 10 menit aku dikamar, handphoneku berdering. Suara di ujung mengatakan, “aku diluar nih, bukai dong pintunya”. Kubuka pintu kamar, dan dia yang sudah membuatku kesal Cuma memamerkan deretan giginya yang rapih. “maaf ya lama.. aku isi bensin dulu tadi”, begitu alasannya. Aku menyuruhnya untuk sarapan sendiri sembari aku mandi. Dia kaget ternyata aku belum juga mandi dan tega karena sarapan duluan, tapi dia segera ke restoran saat kubilang semua menu makanannya hampir habis. “makan yang banyak yah, sekalian perbaikan gizi wahai anak kos”, kugoda dia sambil menutup pintu kamar dan bergegas mandi. Hanya butuh waktu 15 menit untuk aku mandi dan bersiap, lalu kususul dia ke restoran. “belum selesai juga makannya?”, kutanya sambil menarik kursi untuk duduk. “katanya suruh perbaikan gizi, ini belum semuanya dicoba”, jawabnya dengan mulut penuh makanan. Aku tersenyum simpul. Sekilas kulihat tubuhnya sekarang, tidak seperti orang kekurangan makan sebenernya. Malah tubuhnya kini lebih berisi, pipinya saja semakin bulat. Dan tanpa sadar aku pun tertawa. Dia bingung melihat ku tertawa sendiri tapi tidak berani menanyakan ada apa.

Sekarang kami sudah siap untuk menjelajah, aku duduk manis di sebelahnya sambil ngemil kacang yang dia beli di warung kelontong tadi. Kutanya mau kemana, dia hanya bilang “pokoknya jauh, yang penting sama aku”. Jalanan disini menurutku sudah bagus walau tidak terlalu lebar. Semuanya sudah di aspal, hanya saja bila berpapasan dengan kendaraan lain sering mengagetkan. Laju pacu mereka tidak ada yang lambat, mungkin karena dipikir masih jarang kendaraan disini, terutama untuk roda 4.

“wah jangan-jangan kita terlewat, daritadi kok enggak ada papan penunjuknya yah? Ini sih kita udah beneran jauh banget jalannya”, entah dia bicara sendiri atau denganku. Dia memutar balik mobil, dan sekitar 4 km kemudian dia memasukkan ke jalanan rusak dengan papan penunjuk yang sudah mulai apuk. “ini dia tempatnya, surga tersembunyi..”, aku masih penasaran dengan perkataannya tapi ternyata itu memang surga tersembunyi. Hamparan pasir putih, air yang jernih dan tidak terlalu dalam, didukung langit yang sangat cerah saat itu, membuat pemandangan pantai yang sungguh mempesona.

“coba kita bawa serokan, terus bisa bakar ikan sekalian deh”, kataku padanya saat melewati jembatan kayu kecil. Air di bawah jembatan didiami ikan-ikan seukuran telapak tangan yang hilir mudik, banyak sekali. Kami berdua berjalan menyusuri pinggir pantai lalu berhenti untuk duduk di atas dahan kelapa yang sudah ambruk. “aku tahu kamu gak suka air, tapi disini kebanyakan hanya ada pantai, maaf ya”, aku hanya mengangguk saat dia berkata seperti itu. Kami banyak bercerita, juga berfoto berdua, malah bisa dibilang dia yang lebih banyak ingin berfoto berdua. Aku akhirnya bertanya karena penasaranku yang terlanjur besar, “kamu biasanya ngapain kalau lagi kesepian? Disini hiburannya apa?. Dia melihatku lalu berkata, “kamu.. hiburannya kamu”. “kok aku?”, aku bingung. “iya, aku liatin aja foto-foto kamu terus cerita sendiri hari itu aku ngapain. Atau enggak aku nonton video dari kamu, dengerin lagu-lagu yang kamu kasih. Pokoknya tentang kamu”. Aku tersipu, “memangnya enggak bosen?”. “enggak.. kalau aku bosen aku enggak bakal minta kamu buat datang kesini”. Aku menunduk, air mataku mulai menggenangi mata. Kadang aku benci sekali, bagaimana bisa dia dengan santainya berbicara suatu hal yang membuatku terasa sangat berarti. Disaat keluargaku saja jarang perduli, dia dengan tutur manisnya membuatku menjadi orang paling spesial di dunia.

“Anginnya mulai kencang lagi nih, pasirnya jadi keman-mana. Pulang aja yuk, sekalian kita cari makan siang”, akupun mengiyakan. Di jalan pulang dia bilang kalau nanti sore mobil bosnya ini harus dikembalikan karena mau dipakai. Akupun berkata tidak apa, jangan dipaksakan. Jadi akhirnya kami mencoba mencari makan dekat rumahnya saja, sekaligus memulangkan mobil. Di dekat rumahnya kami berhenti sebentar di warung bakso, dia bilang aku harus mencoba bakso disini. Dan ternyata rasanya.. ah sudahlah, jakarta memang juaranya. Dia hanya terkekeh melihat ekspresiku saat memakan suapan pertama.

Selesai makan, kami segera menuju rumah bosnya untuk mengembalikan mobil. Aku pun dikenalkan pada bosnya, sedikit berbincang ramah tamah. Wajah bosnya mengingatkanku pada seorang artis lawas yang aku lupa namanya. Kemudian kami pun pamit pulang ke rumah.

Di rumahnya, ternyata ada satu orang kawannya dan beberapa tamunya. Aku merasa tidak enak, dan dia melihat perasaanku itu. Lau dia menuruhku untuk menunggu di kamar saja, karena dia mau ke kantor sebentar. Sebenernya aku tidak mau ditinggal, tapi dia berkata jarak kantornya hanya 5 menit dari sini dan berjanji tidak sampai setengah jam dia akan kembali. Mau tidak mau aku menerima, dan kuputuskan menonton film yang ada di laptopnya.

Jam 6 sore dia kembali, diluar masih bisa kudengar suara tamu yang justru semakin ramai. Dia berkata kita kembali ke hotel sebelum gelap. Kali ini kami naik motor miliknya, berboncengan, sambil menikmati angin malam. Kami melewati jalanan yang kanan kirinya penuh tumbuhan bakau, gelap sekali, paling hanya sesekali lampu dari kendaraan yang saling berpapasan menerangi. Tak sengaja aku melihat ke atas langit, dan kulihat bintang seperti bertaburan indah sekali. “wahhh bagus banget bintangnya, keren!!”, teriakku. “di jakarta enggak akan bisa lihat yang begini, kalah sama lampu gedung dan jalanan”, sahutnya.

Sampai di hotel, dia langsung permisi untuk mandi. Tapi rasanya kalau aku tidak ingin mandi, paling hanya bersih-bersih. 10 menit dia keluar, lalu menyuruhku mandi dan kujawab, “malas”. Aku hanya cuci muka, menyabuni tangan dan kaki, lalu gosok gigi. Kulihat dia sedang asik menonton saat aku selesai dari kamar mandi. Aku duduk di sebelahnya lalu mencium pundaknya, “wangi banget sih”. Dan dia menciumku sekilas, di bibir. “kamu juga wangi”, katanya.

Malam itu kami habisnya di kamar saja menonton tv dan memesan makan malam dari restoran. Aku pun bertanya apakah dia masuk malam lagi, “libur”, jawabnya. Sekitar jam 10 aku merasa ngantuk, kutanya apakah dia akan pulang atau menginap. Dia kembali menanyakan padaku, mau ditemani atau tidak. Kujawab, “nginep aja, sayang kasur yang sebelah situ gak ditidurin”. Dia melirik kasur, dan mengangguk. Aku memang mendapat kamar dengan dua kasur single. Jadi rasanya agak aneh saat semalam aku tidur sendiri.

Kami sudah asik bergelung di balik selimut masing-masing, dan tanpa memakan waktu lama akupun sudah bisa mendengar dengkurnya yang semakin lama semakin keras. Dua kali aku memencet hidungnya agar terbangun, tapi tak lama dia kembali mendengkur. Aku salah strategi, harusnya aku tidur sebelum dia. Rasa kantuk yang tak tertahan tapi tidak bisa tidur karena suara yang berisik membuatku frustasi. Iri sekali melihatnya tidur pulas sedangkan aku memejamkan mata saja tidak bisa. Sempat aku masuk ke kamar mandi dan berpikir untuk tidur disana, tapi itu hanyalah ide yang buruk. Dan mau tak mau, aku terpaksa terjaga semalaman.

...... bersambung


0 komentar:

Posting Komentar