Selasa, 27 Desember 2016

G A R I S D E P A N

Oleh Cahaya Jiwa

Seperti seorang tentara garis depan yang harus siap berkorban nyawa, menjadi pemancing musuh serta melindungi barisan di belakangnya. Iya, mungkin itu yang aku pikirkan. Prajurit garis depan, akhirnya aku menamakan keluarga kami.

“Assalamualaikum.. permisi”, kudengar samar dari kamar ada orang di depan rumah. Kutajamkan pendengaran menunggu apakah benar ada yang memanggil. “permisi bu.. ada undangan”. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, kudapati ayahku sedang menonton tv. Pura-pura tidak dengar rupanya. “ayah itu diluar ada tamu”, bukan jawaban justru hardikan yang aku terima, “ya sana kamu keluar liat siapa!”. Tak berkomentar, akupun keluar menurutinya.
Ini bukan pertama di keluarga kami ayah melakukan hal ini. Seringnya beliau tidak pernah menyaut bila ada siapapun yang datang ke rumah, sekalipun itu petugas paket. Karena kelakuannya juga akhirnya paket pesanan yang datang harus kuambil ke agen terdekat dengan alasan tidak ada penerima. Agak aneh memang, mengapa kalau ada di rumah Ayah tidak pernah mau menemui siapapun.  Bila kami sedang berkumpul  di ruang tengah pun, dan ada seseorang mengetuk pintu rumah, Ayah mendadak dengan terburu masuk ke kamarnya. Seperti orang yang ketakutan ditagih hutang. Lucu.

Keanehannya tidak berhenti sampai disitu. Ayah tidak hanya segan menemui orang di rumahnya, tapi juga enggan mengangkat telepon rumah. Dari kecil aku dibiasakan untuk berbohong mengatakan Ayah sibuk, Ayah sedang keluar, Ayah sholat, bila ada orang yang ingin berbicara dengannya di telepon. Dan itu berarti mengartikan juga jangan pernah berharap Ayah mau mengangkat bila telepon rumah berdering.

Pernah sekali waktu, Ibu sedang berada di rumah tetangga membantu memasak. Hari itu yang mungkin tidak pernah dilupakan oleh Ibuku. Telepon penting dari Tanteku, yang ingin mengatakan bahwa Kakek dalam kondisi kritis. Tapi tidak diangkat oleh Ayahku yang sedang berada di rumah. 3 jam kemudian saat Ibu sudah kembali ke rumah, telepon kembali berdering dan Ibu yang mengangkat. Telepon di ujung mengatakan, “Bapak  sudah enggak ada mbak..”, itu telepon dari tanteku lagi. Aku ingat muka Ibu ketika menerima telepon itu. Pucat, tanpa suara. Yang terakhir kulihat hanya cucuran air mata, telepon yang terjatuh, dan pukulan membabi buta pada Ayahku.

Ayah memang merasa bersalah, tapi hanya sesaat. Dia berkilah, “sekalipun aku angkat, kita tidak akan bisa mengejar waktu kesana”.  Ibu pun akhirnya berusaha menerima kenyataan, walau aku tahu dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri kenapa harus berada diluar rumah saat itu.

Saat ini usiaku beranjak 22 tahun, abangku sudah keluar dari rumah setelaj menikah. Sekarang yang tinggal hanya kami berempat, aku, adikku, Ayah, dan Ibu. Dan kebiasaan itu belum juga usai. Ayah tidak akan pernah mau menemui siapapun di rumah atau mengangkat telepon. Bahkan kebiasaan berbohong tentang Ayahn yang tidak mau menerima telepon ini juga diturunkan pada adikku. Bahkan bisa dibilang, adikku lebih lihai untuk membuat aladan daripadaku. Dan seperti biasa, saat itu kami berkumpul di ruang keluarga sambil menonton tv setelah makan malam.

Tok tok tok. Ada bunyi ketukan di pintu depan, aku ingat kalau pintu depan belum terkunci. Aku, Ibu, dan adikku saling pandang. Kami seperti sudah saling mengkode dalam otak, “siapa yang akan membuka pintu?” begitu kira-kira kalau diartikan. Ayahku? Yaa.. beliau langsung masuk ke kamarnya. Kami menunggu terlebih dahulu ketukan selanjutnya. Tok tok tok. Oh ya.. tamunya masih ada. Memegang kekuasaan sebagai kakak, aku menyuruh adikku untuk melihat. Ia menurut dan segera keluar. Bunyi pintu terbuka, tapi tidak ada suara apapun dari adikku. Mungkin itu temannya kupikir.

Ibu berinisiatif ke dapur membuat minuman karena juga menganggap itu memang teman adikku. Sambil membawa segelas sirup Ibuku pun keluar rumah. Aku sempat mendengar bunyi gemeretak dan garukan di pintu. Karena penasaran aku pun turut keluar ingin melihat ada apa.

Sayang, niatku keluar menjadi malapetaka. Aku melihat orang berpakaian hitam sedang menikam perut Ibuku. Tidak jauh dari Ibuku terjatuh, kulihat adikku sudah tersungkur bersimbah darah. Akupun tercekat, dan ingin segera masuk dan mengunci pintu. Naas, gerakan ku terhambat. Tergelincir oleh genangan air sirup yang tumpah dan akhirnya membuatku terjatuh. Orang itu langsung membekap mulutku dengan tangannya yang berbau anyir darah, membuatku tak sempat lagi berteriak atau memang tidak sanggup berteriak karena terlalu takut. Tapi di tengah ketakutannku, aku masih mencoba melawan dan memukul rusuknya. Orang itu mengaduh, dan tak kusiakan kesempatan berdiri untuk masuk ke dalam rumah. Sial.. pisaunya terlanjur menancap di paha kananku.

Aku sudah tidak sempat menahan pintu menghindari orang itu masuk ke dalam rumah. Yang kutahu aku harus segera memberitahukan Ayah bahwa ada orang jahat yang masuk ke rumah. Pintu kamar kugedor, sempat kulihat Ayah membuka pintu dengan raut muka kesal. Dengan lirih kubilang “selamatkan diri Ayah”. Setelah itu aku merasa lemas dan tak ingat apa-apa lagi. Aku hanya berharap Ayah dapat membela diri, paling tidak Ayah harus hidup. Jangan siakan kami yang telah menjadi prajurit garis depan melindungi Ayah. Kini giliran Ayah yang bertindak.

0 komentar:

Posting Komentar