Oleh Cahaya Jiwa
Seperti seorang tentara garis depan yang
harus siap berkorban nyawa, menjadi pemancing musuh serta melindungi barisan di
belakangnya. Iya, mungkin itu yang aku pikirkan. Prajurit garis depan, akhirnya
aku menamakan keluarga kami.
“Assalamualaikum.. permisi”, kudengar samar
dari kamar ada orang di depan rumah. Kutajamkan pendengaran menunggu apakah
benar ada yang memanggil. “permisi bu.. ada undangan”. Aku melangkahkan kaki
keluar kamar, kudapati ayahku sedang menonton tv. Pura-pura tidak dengar
rupanya. “ayah itu diluar ada tamu”, bukan jawaban justru hardikan yang aku
terima, “ya sana kamu keluar liat siapa!”. Tak berkomentar, akupun keluar
menurutinya.
Ini bukan pertama di keluarga kami ayah
melakukan hal ini. Seringnya beliau tidak pernah menyaut bila ada siapapun yang
datang ke rumah, sekalipun itu petugas paket. Karena kelakuannya juga akhirnya
paket pesanan yang datang harus kuambil ke agen terdekat dengan alasan tidak
ada penerima. Agak aneh memang, mengapa kalau ada di rumah Ayah tidak pernah
mau menemui siapapun. Bila kami sedang
berkumpul di ruang tengah pun, dan ada
seseorang mengetuk pintu rumah, Ayah mendadak dengan terburu masuk ke kamarnya.
Seperti orang yang ketakutan ditagih hutang. Lucu.
Keanehannya tidak berhenti sampai disitu.
Ayah tidak hanya segan menemui orang di rumahnya, tapi juga enggan mengangkat
telepon rumah. Dari kecil aku dibiasakan untuk berbohong mengatakan Ayah sibuk,
Ayah sedang keluar, Ayah sholat, bila ada orang yang ingin berbicara dengannya
di telepon. Dan itu berarti mengartikan juga jangan pernah berharap Ayah mau
mengangkat bila telepon rumah berdering.
Pernah sekali waktu, Ibu sedang berada di
rumah tetangga membantu memasak. Hari itu yang mungkin tidak pernah dilupakan
oleh Ibuku. Telepon penting dari Tanteku, yang ingin mengatakan bahwa Kakek
dalam kondisi kritis. Tapi tidak diangkat oleh Ayahku yang sedang berada di
rumah. 3 jam kemudian saat Ibu sudah kembali ke rumah, telepon kembali
berdering dan Ibu yang mengangkat. Telepon di ujung mengatakan, “Bapak sudah enggak ada mbak..”, itu telepon dari
tanteku lagi. Aku ingat muka Ibu ketika menerima telepon itu. Pucat, tanpa
suara. Yang terakhir kulihat hanya cucuran air mata, telepon yang terjatuh, dan
pukulan membabi buta pada Ayahku.
Ayah memang merasa bersalah, tapi hanya
sesaat. Dia berkilah, “sekalipun aku angkat, kita tidak akan bisa mengejar
waktu kesana”. Ibu pun akhirnya berusaha
menerima kenyataan, walau aku tahu dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri
kenapa harus berada diluar rumah saat itu.
Saat ini usiaku beranjak 22 tahun, abangku
sudah keluar dari rumah setelaj menikah. Sekarang yang tinggal hanya kami berempat, aku,
adikku, Ayah, dan Ibu. Dan kebiasaan itu belum juga usai. Ayah tidak akan pernah mau
menemui siapapun di rumah atau mengangkat telepon. Bahkan kebiasaan berbohong tentang Ayahn yang tidak mau menerima telepon ini juga
diturunkan pada adikku. Bahkan bisa dibilang, adikku lebih lihai untuk membuat aladan daripadaku. Dan seperti biasa, saat itu kami berkumpul di ruang keluarga
sambil menonton tv setelah makan malam.
Tok tok tok. Ada bunyi ketukan di pintu
depan, aku ingat kalau pintu depan belum terkunci. Aku, Ibu, dan adikku saling
pandang. Kami seperti sudah saling mengkode dalam otak, “siapa yang akan
membuka pintu?” begitu kira-kira kalau diartikan. Ayahku? Yaa.. beliau langsung
masuk ke kamarnya. Kami menunggu terlebih dahulu ketukan selanjutnya. Tok tok
tok. Oh ya.. tamunya masih ada. Memegang kekuasaan sebagai kakak, aku menyuruh
adikku untuk melihat. Ia menurut dan segera keluar. Bunyi pintu terbuka, tapi
tidak ada suara apapun dari adikku. Mungkin itu temannya kupikir.
Ibu berinisiatif ke dapur membuat minuman
karena juga menganggap itu memang teman adikku. Sambil membawa segelas sirup
Ibuku pun keluar rumah. Aku sempat mendengar bunyi gemeretak dan garukan di
pintu. Karena penasaran aku pun turut keluar ingin melihat ada apa.
Sayang, niatku keluar menjadi malapetaka.
Aku melihat orang berpakaian hitam sedang menikam perut Ibuku. Tidak jauh dari
Ibuku terjatuh, kulihat adikku sudah tersungkur bersimbah darah. Akupun
tercekat, dan ingin segera masuk dan mengunci pintu. Naas, gerakan ku terhambat. Tergelincir oleh genangan air sirup yang tumpah dan akhirnya membuatku terjatuh. Orang itu
langsung membekap mulutku dengan tangannya yang berbau anyir darah, membuatku
tak sempat lagi berteriak atau memang tidak sanggup berteriak karena terlalu
takut. Tapi di tengah ketakutannku, aku masih mencoba melawan dan memukul
rusuknya. Orang itu mengaduh, dan tak kusiakan kesempatan berdiri untuk masuk
ke dalam rumah. Sial.. pisaunya terlanjur menancap di paha kananku.
Aku sudah tidak sempat menahan pintu
menghindari orang itu masuk ke dalam rumah. Yang kutahu aku harus segera
memberitahukan Ayah bahwa ada orang jahat yang masuk ke rumah. Pintu kamar kugedor,
sempat kulihat Ayah membuka pintu dengan raut muka kesal. Dengan lirih kubilang
“selamatkan diri Ayah”. Setelah itu aku merasa lemas dan tak ingat apa-apa
lagi. Aku hanya berharap Ayah dapat membela diri, paling tidak Ayah harus
hidup. Jangan siakan kami yang telah menjadi prajurit garis depan melindungi
Ayah. Kini giliran Ayah yang bertindak.
0 komentar:
Posting Komentar